Beranda | Artikel
Hak Suami Tidak Menuntut Sesuatu Diluar Kesanggupan
Senin, 7 Februari 2005

HAK SUAMI

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

10. HAK SUAMI ATAS ISTERINYA IALAH TIDAK MENYAKITINYA SERTA TIDAK MENUNTUT KEPADANYA SESUATU YANG TIDAK DIBUTUHKAN DAN MELEBIHI KESANGGUPANNYA.
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

لاَ تُؤْذِيْ امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ: لاَ تُؤْذِيْهِ قَاتَلَكِ اللهُ، فَإِنَّمَا هُوَ دَخِيْلٌ -أَيْ ضَعِيْفُ رَاحِلٍ- يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقُكِ إِلَيْنَا.

“Tidaklah seorang wanita menyakiti hati suaminya di dunia, melainkan isterinya yang berasal dari kalangan bidadari berkata: ‘Jangan sakiti dia, semoga Allah membinasakanmu. Ia hanyalah seorang yang lemah yang nyaris meninggalkanmu (untuk pergi) kepada kami.’”[1]

Di antara menyakiti suami ialah menyebarkan rahasianya, dan ini adalah haram. Oleh karenanya, ia berkewajiban untuk tidak menyebut-nyebut keburukannya di tengah-tengah khalayak, tidak menyebarkan rahasia, dan tidak mengabarkan berbagai aib tersembunyi yang diketahuinya dari suaminya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

“Sebab itu maka wanita yang shalih ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)…” [An-Nisaa’/4: 34].

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah berkata, “Menurut an-Nawawi dan Qatadah, حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ ‘Haafizhaat lil ghaib ialah memelihara apa yang wajib dipeliharanya, baik diri maupun harta, ketika suaminya tidak ada. Menurutku, termasuk dalam kategori firman-Nya ini adalah merahasiakan segala yang terjadi di antara mereka dengan suami mereka saat berduaan, terutama pembicaraan kotor; lalu bagaimana halnya dengan memelihara kehormatan?”[2]

Syaikh Muhammad bin Isma’il berkata: “Memelihara diri ketika pasangannya tidak ada adalah kewajiban atas masing-masing suami isteri, tapi kewajiban ini lebih dipertegas lagi bagi wanita. Karena bahayanya sangat besar jika meremehkannya, yang akan memberikan berbagai dampak terburuk, baik berkaitan dengan agama maupun dunia, dan menghancurkan tatanan keluarga. Wanita shalihah adalah wanita yang memelihara kepentingan suaminya ketika dia sedang tidak ada; memelihara kehormatan dengan tidak berzina, memelihara rahasia dengan tidak menyebarkannya, dan memelihara nama baik dengan tidak menjadikannya sebagai gun-jingan di mulut orang lain.”[3]

Ada sejumlah hadits shahih tentang keharaman menyebar-kan rahasia bersebadan, di antaranya:

Hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلُ يُفْضِى -أَيْ يُبَاشِرُهَا بِالْجِمَاعِ- إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سـِرَّهَا.

“Sesungguhnya manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat ialah laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan isterinya dan isterinya melakukan per-setubuhan dengannya, kemudian ia menyebarkan rahasia isterinya.”[4]

Dan hadits yang diriwayatkan dari Asma’ binti Yazid Radhiyallahu anhuma bahwa dia berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan kaum laki-laki dan perempuan sedang duduk-duduk, lalu beliau bersabda: “Mungkin seseorang menceritakan apa yang dilakukan terhadap isterinya, dan mungkin seorang wanita menceritakan apa yang dilakukannya bersama suaminya?” Mereka diam, maka aku berkata: “Ya, wahai Rasulullah, sungguh kaum wanita biasa melakukannya dan juga kaum pria melakukannya.” Beliau bersabda: “Jangan lakukan! Karena perbuatan itu tidak lain bagaikan syaitan laki-laki bertemu syaitan perempuan di suatu jalan lalu menyetubuhinya, sedangkan orang-orang melihatnya.”[5]

Bahkan wanita berkewajiban menunjukkan sifat qana’ah dan ridha dengan nikmat yang diberikan Allah kepadanya. Isteri harus mengetahui kemampuan finansial suaminya dan menyertai suaminya dengan qana’ah dan sabar. Ia semestinya meneladani Ummahatul Mukminin. Dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan: “Pernah keluarga Muhammad tidak makan roti gandum selama dua hari berturut-turut ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.”[6]

Dari ‘Urwah bin az-Zubair, dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa ia mengatakan, “Demi Allah, wahai keponakanku! Sesungguhnya kami melihat bulan sabit, kemudian bulan sabit, kemudian bulan sabit, tiga kali bulan sabit dalam dua bulan, sedangkan di rumah-rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dinyalakan api.” Aku bertanya: “Wahai bibi, lalu beliau memberi makan apa kepada kalian?” Ia menjawab: “Kurma dan air. Hanya saja Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai tetangga Anshar yang memiliki banyak kambing (yakni kambing yang diberikan oleh pemiliknya untuk diminum susunya, kemudian dikembalikan lagi). Mereka biasa mengirimkan sebagian air susunya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau memberi minum kami dengannya.”[7]

Seorang shalih berkata: “Wahai manusia, jika engkau meniti jalan qana’ah, maka sesuatu yang paling sedikit akan mencukupimu. Jika tidak, maka dunia dan seisinya tidak akan mencukupimu.”[8]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَارْضَ بِمَا قَسَمَ اللهُ لَكَ تَكُنْ أَغْنَى النَّاسِ.

“Ridhalah dengan apa yang Allah berikan kepadamu, niscaya engkau menjadi manusia paling kaya.”[9]

11. HAK SUAMI ATAS ISTERINYA IALAH TIDAK BERCAKAP-CAKAP DENGAN SEORANG PUN DI RUMAHNYA SELAIN MAHRAMNYA KECUALI DENGAN SEIZINNYA DAN TIDAK KELUAR DARI RUMAH KECUALI DENGAN SEIZINNYA.
‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu mengatakan: “(Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) melarang mengajak berbicara para wanita -yakni di rumah mereka- kecuali dengan seizin suaminya.”[10]

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Suami berhak melarang isteri-nya keluar dari rumahnya untuk suatu keperluan yang harus dia lakukan, baik ia hendak mengunjungi kedua orang tuanya, membesuknya, atau menghadiri jenazah salah satu dari keduanya. Ahmad berkata tentang wanita yang mempunyai suami dan ibu yang sedang sakit: ‘Mentaati suaminya adalah lebih wajib atasnya daripada menjenguk ibunya, kecuali bila suaminya mengizinkannya.’”

Ibnu Baththah meriwayatkan dalam Ahkaamun Nisaa’ dari Anas bahwa seseorang bepergian, dan dia melarang isterinya untuk keluar rumah. Kemudian ayahnya sakit. Ia meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjenguk ayahnya, tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Takutlah kepada Allah dan jangan menyelisihi suamimu.” Kemudian ayahnya meninggal. Ia meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melawat jenazahnya, tapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bertakwalah kepada Allah dan jangan menyelisihi suamimu.” Lalu Allah mewahyukan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Aku telah mengampuninya karena ketaatan kepada suaminya.”[11]

Kemudian Ibnu Qudamah berkata: “Mentaati suami adalah wajib, sedangkan menjenguk orang sakit tidak wajib. Oleh karena itu, tidak boleh meninggalkan kewajiban untuk sesuatu yang tidak wajib dan ia tidak boleh keluar kecuali dengan seizinnya.

Tetapi tidak sepantasnya suami menghalangi isterinya menjenguk kedua orang tua dan mengunjungi keduanya. Karena dapat memutuskan hubungan dengan keduanya dan membawa isterinya untuk menyelisihinya. Padahal Allah memerintahkan supaya mempergaulinya dengan baik, sedangkan ini bukan mempergauli dengan baik. Jika isterinya adalah dzimmiyyah (wanita Ahlul Kitab yang dilindungi), maka dia boleh melarangnya keluar ke gereja karena ini bukan ketaatan.”[12]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Jika wanita keluar dari rumahnya tanpa seizinnya, maka tidak ada (kewajiban)
nafkah dan pakaian untuknya.”[13]

12. HAK SUAMI ATAS ISTERINYA IALAH DIA BERTERIMA KASIH KEPADA SUAMINYA ATAS APA YANG DIBERIKAN KEPADANYA BERUPA MAKANAN, MINUMAN, PAKAIAN, DAN SELAINNYA YANG SANGGUP DIA BERIKAN.
‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا، وَهِيَ لاَ تَسْتَغْنِيْ عَنْه.ُ

‘Allah tidak memandang seorang wanita yang tidak berterima kasih kepada suaminya, padahal dia butuh kepadanya.’”[14]

Sekedar isteri melalaikan kebaikan suami dan mengingkari-nya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutnya sebagai kekafiran dan Allah memasukkannya sebagai faktor masuknya seseorang ke dalam Neraka Jahannam.”[15]

Asma’ binti Zaid al-Anshariyyah Radhiyallahu anhuma berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewatiku saat aku berada di sisi teman-temanku, lalu beliau mengucapkan salam kepada kami seraya bersabda: ‘Janganlah kamu mengingkari orang-orang yang memberi kenikmatan.’ Aku ber-tanya, ‘Wahai Rasulullah, apa itu mengingkari orang-orang yang memberi kenikmatan?’ Beliau menjawab:

لَعَلَّ إِحْدَاكُنَّ تَطُوْلُ أَيِّمَتُهَا مِنْ أَبَوَيْهَا، ثُمَّ يَرْزُقُهَا اللهُ زَوْجًا، وَيَرْزُقُهَا مِنْهُ وَلَدًا، فَتَغْضَبُ الْغَضْبَةَ فَتَكْفُرُ، فَتَقُوْلُ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطٌّ

‘Mungkin salah seorang dari kalian sekian lama bersama ibu-bapaknya tanpa bersuami. Kemudian Allah memberikan kepadanya seorang suami dan mengaruniai anak darinya. Kemudian ia marah karena suatu hal lantas mengingkarinya seraya mengatakan: ‘Aku tidak melihat suatu kebaikan pun darimu.’”[16]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai para wanita! Bershadaqahlah dan perbanyaklah beristighfar. Sebab aku melihat kalian sebagai mayoritas penghuni Neraka.” Seorang wanita dari mereka bertanya: “Mengapa kami menjadi mayoritas ahli Neraka?” Beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan mengingkari suami. Aku tidak melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang mengalahkan orang yang mempunyai fikiran daripada kalian.” Ia bertanya: “Apakah kurang akal dan agama itu?” Beliau menjawab:

شَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ بِشَهَادَةِ رَجُلٍ، وَتَمْكُثُ اْلأَيَّامُ لاَ تُصَلِّى.

“Persaksian dua orang wanita setara dengan persaksian seorang pria, dan beberapa hari (dalam sebulan) dia tidak melaksanakan shalat (karena hadih).”[17]

13. HAK SUAMI ATAS ISTERINYA IALAH MENYUSUI ANAK-ANAKNYA DAN MENIMANGNYA.
Anak mempunyai hak yang tetap atas kedua orang tuanya, yaitu dipelihara, dikasihi dan dididik. Dari sini, pernyataan al-Qur-an ini ditujukan kepada setiap ibu, baik yang masih berstatus sebagai isteri atau telah dicerai, yang menganjurkannya untuk mem-perhatikan penyusuan anaknya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan pe-nyusuan…” [Al-Baqarah/2: 233]
Diriwayatkan bahwa ‘Amr bin ‘Abdillah berkata kepada wanita yang menyusui anaknya: “Janganlah engkau menyusui anakmu seperti binatang ternak menyusui anaknya; ia lembut kepadanya dan menyusuinya karena belas kasih. Tetapi susuilah dia dengan mengharapkan pahala dari Allah, dan agar ia hidup dengan penyusuanmu yang mudah-mudahan ia menjadi orang yang mentauhidkan (mengesakan) Allah dan beribadah kepada-Nya.”[18]

Jumhur fuqaha’ berpendapat bahwa perintah menyusui ini bersifat anjuran, dan ibu tidak berkewajiban menyusui anaknya. Kecuali bila telah dicarikan orang yang bersedia menyusui tetapi bayi tidak mau menerima susunya, atau ayah tidak mampu mengupah orang yang menyusui atau mampu tetapi tidak ditemukan orang yang menyusuinya. Mereka berargumen tentang kesunnahannya dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَىٰ

“Dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. [Ath-Thalaaq: 6].[19]

Menurut mazhab Malik, menyusui adalah wajib atas ibu pada saat masih berstatus (sebagai) isteri.”[20]

Dalam kisah seorang wanita al-Ghamidiyyah yang hamil karena berzina, dia datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar beliau menerap-kan hukuman atasnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Tidak, pergilah sampai engkau melahirkan.” Ketika telah melahirkan, dia datang membawa bayinya dalam sobekan kain seraya mengatakan: “Ini, aku telah melahirkannya.” Beliau bersabda: “Pergilah dan susuilah hingga engkau menyapihnya.” Ketika ia telah menyapihnya, dia datang kepada beliau dengan mambawa anaknya yang memegang secuil roti seraya mengatakan: “Ini, wahai Nabi Allah, aku telah menyapihnya dan ia sudah makan makanan.” Akhirnya beliau menyerahkan anak ini kepada seorang muslim, kemudian me-merintahkan untuk menggali lobang bagi wanita ini sampai dadanya, dan memerintahkan orang-orang supaya merajamnya (melemparnya dengan batu).[21]

Renungkanlah apa yang riwayatkan Abu Umamah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Ketika aku sedang tidur, tiba-tiba dua orang datang lalu memegang jari telunjukku…’ hingga akhir hadits yang di dalamnya disebutkan:

ثُمَّ اِنْطَلَقَ بِي، فَإِذَا بِنِسَاءٍ تَنْهَشُ ثَدْيَهُنَّ الْحَيَاتُ، قُلْتُ: مَا بَالُ هَؤُلاَءِ؟ قَالَ: هَؤُلاَءِ يَمْنَعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ أَلْبَانَهُنَّ.

“Kemudian ia membawaku pergi. Tiba-tiba aku melihat kaum wanita yang buah dada mereka digigit ular. Maka aku ber-tanya: ‘Mengapa mereka?’ Ia menjawab: ‘Mereka adalah para wanita yang menghalangi anak-anak mereka dari air susu mereka.’”[22]

Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu pernah tidak mewajibkan anak disusui hingga disapih, lalu beliau mengoreksi pendapatnya dan mewajibkannya sejak kelahirannya hingga masa penyusuannya berlangsung lama. ‘Ketika ‘Umar berkeliling pada suatu malam di mushalla (tanah lapang yang biasa dipakai shalat ‘Ied), seorang anak menangis, maka beliau berkata kepada ibunya: “Susuilah!” Ia menjawab: “Amirul Mukminin tidak mewajibkan anak disusui hingga disapih, dan aku telah menyapihnya.” Maka ‘Umar berkata: “Aku hampir saja membunuhnya. Susuilah! Sebab Amirul Mukminin akan mewajibkannya untuknya.” Kemudian ‘Umar mewajibkan setelah itu supaya anak disusui sejak dilahirkan.[23]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. At-Tirmidzi (no. 1174) kitab an-Nikaah dan ia mengatakan: “Hadits hasan gharib,” serta dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahiihah (no. 173).
[2]. Syaikh Muhammad Isma’il dalam ‘Audatul Hijaab (II/272) menisbatkannya pada buku Huquuqun Nisaa’ fil Islaam, hal. 5048.
[3]. ‘Audatul Hijaab (II/272).
[4]. HR. Muslim (no. 1438) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 4870) kitab al-Adab, Ahmad (no. 11258).
[5]. HR. Ahmad (no. 36, 27), dan hadits ini mempunyai satu riwayat pendukung dari hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Syaibah. Syaikh al-Albani mengatakan dalam Aadaabuz Zifaaf, hal. 144, setelah menyebutkan riwayat-riwayat pendukung yang lain untuk hadits ini dengan pendukung-pendukungnya: “Hadits ini shahih atau hasan, insya Allah.”
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 5416) kitab al-Ath’imah, Muslim (no. 2970) kitab az-Zuhd war Raqaa-iq, an-Nasa-i (no. 4432) kitab adh-Dhahaayaa, Ibnu Majah, (no. 3344) kitab al-Ath’imah, Ahmad (no. 25223).
[7]. HR. Al-Bukhari (no. 2567) kitab al-Hibah, Muslim (no. 2972) kitab az-Zuhd war Raqaa-iq, at-Tirmidzi (no. 2471) kitab al-Qiyaamah war Raqaa-iq wal Wara’, Ibnu Majah (no. 4144) kitab az-Zuhd, Ahmad (no. 24963).
[8]. ‘Audatul Hijaab (II/495).
[9]. HR. At-Tirmidzi (no. 2305) kitab az-Zuhd, Ahmad (no. 8034), dan didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam Takhriij Ahaadiits Musykilatil Faqr (no. 17).
[10]. Syaikh al-Albani menisbatkannya kepada al-Khara-ithi dalam Makaarimul Akhlaaq, dan menilai sanadnya lemah. Lihat, as-Silsilatush Shahiihah (no. 652).
[11]. Al-Haitsami berkata dalam al-Majma’ (IV/313), yang di dalamnya terdapat ‘Ishmah bin al-Mutawakkil, ia seorang yang dha’if. Syaikh al-Albani berkata dalam al-Irwaa’ (VII/76-77), (no. 4014): “Ishmah bin al-Mutawakkil adalah lemah, dan al-Bukhari berkata mengenainya: ‘Aku tidak mengenalnya.’”
[12]. Al-Mughni (VII/20-21).
[13]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXXII/281).
[14]. Al-Mundziri berkata (III/78): “An-Nasa-i meriwayatkannya, dan al-Bazzar meriwayatkan dengan dua sanad, salah satu dari keduanya diriwayatkan oleh para perawi yang shahih.” Al-Hakim menilainya bersanad shahih. Al-Haitsami (IV/309) berkata: “Al-Bazzar meriwayatkannya dengan dua sanad dan ath-Thabrani, dan salah satu sanad al-Bazzar, para perawinya adalah para perawi yang shahih.” Dan, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahiihah (no. 289).
[15]. ‘Audatul Hijaab (II/498).
[16]. HR. Al-Bukhari, al-Adabul Mufrad (no. 1048), dan Syaikh al-Albani mengata-kan bahwa sanadnya bagus. Lihat as-Silsilah ash-Shahiihah (no. 823).
[17]. HR. Al-Bukhari (no. 304) kitab al-Haidh, Muslim (no. 790) kitab al-Iimaan, Abu Dawud (no. 4679) kitab as-Sunnah.
[18]. Lihat ‘Audatul Hijaab (II/515), dan penulis Manhajut Tarbiyyatin Nabawiyyah lith Thifl, hal. 72, menisbatkannya kepada Nashiihatul Muluuk karya al-Mawardi, hal. 166.
[19]. ‘Audatul Hijaab (II/516).
[20]. Ibid.
[21]. HR.Muslim (no 1695) kitab al-Huduud, Abu Dawud (no. 4442) kitab al-Huduud, Ahmad (no. 22440) al-Baihaqi (VI/83), dan ad-Daraquthni (III/92).
[22]. HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahiihnya (no. 1986), al-Hakim (I/430), dan menilai shahih menurut syarat Muslim, dan disetujui oleh adz-Dzahabi, serta dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (I/420).
[23]. HR. ‘Abdurrazzaq (V/311).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1339-hak-suami-atas-isterinya-tidak-menuntut-sesuatu-diluar-kesanggupan-tidak-keluar-tanpa-seizinnya.html